Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Situasi Bencana Alam

Foto ilustrasi Pelaksanaan PBM di tengah situasi pasca-bencana alam

 
Penulis: Sulham Efendi Hasibuan, M.Pd.I
Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan 

 

Bencana banjir dan longsor yang disertai galodo tidak hanya menyisakan kerusakan fisik berupa rumah yang hancur, sekolah yang rusak, dan infrastruktur yang lumpuh, tetapi juga menghadirkan luka sosial dan psikologis yang mendalam, terutama bagi anak-anak. Di tengah kehilangan anggota keluarga, harta benda, dan rasa aman, anak-anak berada pada posisi paling rentan, baik secara emosional maupun perkembangan pendidikannya. Dalam situasi seperti ini, pendidikan tidak dapat direduksi semata-mata sebagai aktivitas akademik yang berorientasi pada capaian kurikulum, nilai, dan ketuntasan materi. Sebaliknya, pendidikan harus dimaknai sebagai ruang kemanusiaan yang menghadirkan rasa aman, kasih sayang, dan harapan di tengah krisis. Pendidikan bagi anak-anak korban bencana menjadi instrumen pemulihan trauma, perlindungan psikososial, serta sarana untuk meneguhkan kembali martabat dan hak-hak dasar anak sebagai manusia. Dengan pendekatan yang empatik, fleksibel, dan berpihak pada kondisi korban, pendidikan berperan menjaga keberlangsungan tumbuh kembang anak agar tidak terhenti oleh bencana yang menimpa mereka. Oleh karena itu, diperlukan kerangka konseptual pendidikan yang tepat, kontekstual, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan agar proses belajar di wilayah bencana benar-benar menjadi bagian dari upaya penyelamatan generasi, bukan sekadar rutinitas administratif belaka.

1. Pendidikan sebagai Ruang Pemulihan

Anak-anak yang menjadi korban banjir, longsor, dan galodo mengalami trauma berlapis yang tidak dapat disederhanakan sebagai kesedihan sesaat. Mereka menghadapi trauma kehilangan anggota keluarga, rumah, dan harta benda; trauma ketakutan yang terus berulang setiap kali hujan turun atau suara alam terdengar mengancam; serta trauma ketidakpastian masa depan akibat terhentinya kehidupan normal, termasuk pendidikan formal. Dalam kondisi demikian, pendidikan tidak boleh dipaksakan dalam kerangka akademik yang kaku, melainkan harus dirancang sebagai ruang pemulihan yang berorientasi pada penyembuhan psikologis anak.

Pendekatan trauma-informed education menempatkan keamanan psikologis sebagai prioritas utama, bahkan di atas capaian kurikulum. Guru dan pendidik berperan sebagai pendamping emosional yang hadir dengan empati, kesabaran, dan kepekaan, bukan semata-mata sebagai penyampai materi pelajaran. Proses belajar perlu berlangsung secara fleksibel, tanpa tekanan, dan menghargai kondisi emosional anak. Aktivitas seperti menggambar, bercerita, bermain peran, serta memberikan ruang bagi anak mengekspresikan emosi tanpa penilaian menjadi strategi penting untuk membantu mereka memproses pengalaman traumatis. Rutinitas sederhana yang konsisten juga diperlukan untuk mengembalikan rasa normal, aman, dan stabil. Pada fase awal pascabencana, anak-anak tidak sedang membutuhkan tuntutan untuk menjadi “pintar”, melainkan membutuhkan ruang pendidikan yang memungkinkan mereka “selamat secara batin” agar dapat kembali tumbuh dan belajar secara utuh. 

2. Pendidikan Darurat

Ketika bencana menghancurkan atau melumpuhkan sarana pendidikan formal, seperti gedung sekolah dan fasilitas belajar, maka pendekatan yang paling relevan adalah pendidikan darurat (emergency education). Pendidikan darurat tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem pendidikan normal secara utuh, melainkan untuk memastikan bahwa hak anak atas pendidikan tetap terpenuhi dalam situasi krisis, sekaligus memberikan rasa aman dan keberlanjutan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, sekolah tidak lagi dimaknai sebagai bangunan fisik, tetapi sebagai ruang aman (safe learning space) yang dapat diwujudkan di tenda-tenda pengungsian, posko bencana, balai desa, atau masjid. Waktu belajar dirancang singkat, fleksibel, dan menyesuaikan kondisi anak serta lingkungan sekitar, tanpa tuntutan administratif seperti seragam, hukuman, atau tekanan akademik yang berpotensi memperparah trauma.

Kurikulum dalam pendidikan darurat harus bersifat minimalis dan humanis, dengan menitikberatkan pada kebutuhan paling esensial anak. Fokus pembelajaran diarahkan pada penguatan literasi dasar seperti membaca dan menulis, numerasi fungsional yang berguna dalam kehidupan sehari-hari, pengembangan keterampilan hidup (life skills), serta penanaman nilai solidaritas dan kebersamaan sebagai modal sosial untuk bangkit bersama. Dalam situasi bencana, kurikulum nasional tidak dapat diterapkan secara kaku, melainkan harus bersedia beradaptasi dan tunduk pada realitas kemanusiaan yang dihadapi anak-anak korban bencana, agar pendidikan benar-benar hadir sebagai sarana perlindungan dan pemulihan, bukan sebagai beban tambahan.

3. Pendidikan Berbasis Psikososial

Anak-anak korban bencana tidak berada dalam ruang sosial yang terisolasi, melainkan menjadi bagian dari keluarga dan komunitas yang sama-sama mengalami luka, kehilangan, dan ketidakpastian. Oleh karena itu, pendidikan pascabencana tidak dapat dijalankan secara individualistik, tetapi harus berbasis pendekatan psikososial dan komunitas. Pelibatan orang tua menjadi aspek penting, tidak hanya sebagai wali, tetapi juga sebagai pendamping emosional yang membantu anak merasa aman dan diterima. Di sisi lain, tokoh agama dan tokoh adat memiliki peran strategis dalam memberikan penguatan makna, harapan, dan ketenangan batin melalui bahasa religius dan kultural yang dipahami oleh masyarakat setempat. Narasi keagamaan dan budaya yang digunakan harus bersifat menenangkan dan memulihkan, bukan menyalahkan korban atau menambah beban psikologis anak.

Pendidikan dalam situasi bencana juga perlu dipahami sebagai proses kolektif yang menumbuhkan kembali ikatan sosial yang sempat rapuh. Aktivitas belajar, bermain, dan berbagi cerita dilakukan secara bersama-sama untuk membangun rasa kebersamaan dan solidaritas. Melalui interaksi kolektif tersebut, anak-anak belajar bahwa mereka tidak menghadapi musibah ini sendirian, melainkan berada dalam komunitas yang saling menopang. Pendekatan ini menjadi sangat penting karena trauma terdalam yang dialami anak bukan semata kehilangan harta benda, melainkan hilangnya rasa aman dan keyakinan akan masa depan. Pendidikan berbasis komunitas berfungsi memulihkan kembali harapan tersebut dengan menghadirkan lingkungan sosial yang suportif dan penuh empati.

4. Pendidikan Bermakna Dari Korban Menjadi Penyintas

Pendidikan pascabencana tidak semestinya memosisikan anak-anak semata sebagai korban pasif yang harus dikasihani, melainkan sebagai penyintas yang memiliki potensi untuk bangkit, belajar, dan berdaya. Pendekatan pendidikan yang bermakna menempatkan anak sebagai subjek aktif dalam proses pemulihan, dengan membekali mereka pemahaman dan keterampilan yang relevan dengan realitas risiko yang dihadapi. Salah satu aspek penting adalah pendidikan kebencanaan yang mencakup pengenalan tanda-tanda bahaya, pengetahuan mitigasi, serta kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan bencana di masa depan. Pengetahuan ini membantu anak mengurangi rasa takut berlebihan dan menggantinya dengan rasa kontrol dan kesiapan diri.

Selain itu, pendidikan pascabencana perlu mengintegrasikan literasi lingkungan dan ekologi agar anak memahami keterkaitan antara perilaku manusia, pengelolaan alam, dan terjadinya bencana. Pemahaman ini penting untuk membangun kesadaran kritis bahwa bencana bukan semata-mata takdir yang tidak dapat diantisipasi, melainkan juga berkaitan dengan tanggung jawab kolektif dalam menjaga lingkungan. Dengan pendekatan tersebut, pendidikan berfungsi sebagai alat rekonstruksi kesadaran sekaligus bekal menghadapi risiko di masa depan. Anak-anak tidak hanya dipulihkan dari luka masa lalu, tetapi juga dipersiapkan menjadi generasi yang lebih tangguh, peduli, dan bertanggung jawab terhadap keselamatan diri, sesama, dan alam sekitarnya.

5. Pendidikan Islam dan Solidaritas Sosial

Bencana tidak hanya meruntuhkan rumah dan infrastruktur, tetapi juga mengguncang rasa aman sosial dan ikatan kebersamaan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan Islam memiliki peran strategis untuk membangun kembali ukhuwah insaniyah, yakni solidaritas kemanusiaan yang melampaui sekat usia, status sosial, dan latar belakang. Melalui pendidikan, anak-anak diajak belajar berbagi, saling menolong, dan merasakan kehadiran komunitas sebagai keluarga besar yang saling menopang di tengah kesulitan. Nilai-nilai zakat, infak, dan sedekah tidak hanya diajarkan secara normatif, tetapi dipraktikkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan berbagi makanan, membantu sesama pengungsi, atau terlibat dalam kegiatan sosial sederhana. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad), pendidikan Islam dalam situasi bencana menemukan maknanya bukan di ruang kelas formal, melainkan di dapur umum, posko pengungsian, dan ruang-ruang gotong royong, tempat nilai kemanusiaan dipelajari melalui tindakan nyata.

6. Pendidikan Islam sebagai Rekonstruksi Harapan

Anak-anak korban bencana kerap kehilangan bukan hanya tempat tinggal dan rasa aman, tetapi juga masa depan dalam imajinasi mereka. Ketika harapan memudar, pendidikan Islam berperan sebagai sarana rekonstruksi rajā’, yakni harapan yang meneguhkan iman dan daya hidup. Pendidikan diarahkan untuk mengajak anak-anak kembali bermimpi, membayangkan masa depan, dan meyakini bahwa kehidupan tidak berhenti pada peristiwa tragis yang mereka alami. Kisah-kisah para nabi dan orang saleh yang diuji dengan penderitaan disampaikan bukan sebagai romantisasi kesabaran, tetapi sebagai sumber inspirasi bahwa ujian dapat dilalui dan melahirkan kekuatan baru. Melalui pendekatan ini, anak-anak diajarkan bahwa luka dan kehilangan bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan bagian dari perjalanan manusia menuju kedewasaan dan ketangguhan. Firman Allah, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. al-Insyirāḥ: 6), menjadi landasan teologis untuk menanamkan optimisme dan kepercayaan bahwa masa depan tetap terbuka bagi mereka yang bertahan dan berharap.

Dalam konteks bencana, pendidikan khususnya pendidikan Islam tidak lagi relevan jika dipersempit pada pertanyaan teknis tentang materi ajar, target kurikulum, atau ketertinggalan akademik semata. Pertanyaan yang jauh lebih mendasar dan manusiawi adalah bagaimana pendidikan dapat membantu anak-anak bertahan di tengah krisis, pulih dari luka fisik dan psikologis, serta kembali menumbuhkan harapan atas masa depan mereka. Pada titik inilah pendidikan Islam menemukan esensinya, yakni ketika ia hadir sebagai rahmat di tengah kehancuran, menjadi medium nilai-nilai ketuhanan dalam pengalaman kemanusiaan yang paling rapuh. Kasih sayang, empati, keadilan, dan keberpihakan terhadap anak-anak yang kehilangan segalanya menjadi wujud konkret kehadiran Tuhan dalam luka manusia.

Pendidikan di wilayah bencana dengan demikian bukan sekadar layanan administratif atau kewajiban teknokratis, melainkan tindakan etis dan tanggung jawab moral bersama antara negara, masyarakat, dan institusi keagamaan. Ketika pendidikan mampu menjadi ruang pemulihan, perlindungan, dan peneguhan makna hidup, ia bertransformasi menjadi fondasi bagi bangkitnya generasi penyintas yang tangguh dan berdaya. Namun, apabila pendidikan Islam gagal merespons penderitaan anak-anak korban bencana dengan kelembutan dan harapan, maka kegagalan tersebut bukan hanya bersifat pedagogis, melainkan juga profetik. Sebab hakikat pendidikan Islam adalah meneladani misi kenabian sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam, yang menghadirkan Tuhan bukan sebagai sumber ketakutan, melainkan sebagai sandaran cinta dan harapan bagi mereka yang tengah terluka.

 

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah