Generative AI dan Dosa Akademik: Tanggung Jawab Etik Dalam Memproduksi Artikel Ilmiah di Era Generative AI
Era generative AI telah mengubah wajah produksi pengetahuan secara radikal. Jika dahulu menulis artikel ilmiah membutuhkan waktu berbulan-bulan, mulai dari membaca literatur, merancang kerangka teoritis, mengumpulkan data, hingga menyusun argumen, kini proses itu dapat dipangkas secara drastis. Dengan teknik prompt tertentu, dosen, mahasiswa, bahkan aktivis dapat menghasilkan naskah yang tampak ilmiah hanya dalam hitungan menit, atau bahkan detik. Bahasa akademik rapi, struktur IMRAD terpenuhi, teori-teori besar disebutkan, dan daftar pustaka tersusun meyakinkan. Namun, di balik kemudahan tersebut, tersembunyi persoalan mendasar yang jauh lebih serius, siapa yang bertanggung jawab atas kebenaran isi dan keabsahan referensi?
Pertanyaan ini tidak sekadar teknis, melainkan etis. Generative AI bukanlah subjek moral, ia tidak memiliki tanggung jawab akademik, tidak menanggung reputasi ilmiah, dan tidak memikul konsekuensi etik. Semua tanggung jawab itu sepenuhnya melekat pada manusia yang menggunakan dan mengatasnamakannya dalam karya ilmiah. Di sinilah letak persoalan krusial yang sering diabaikan dalam euforia teknologi.
Kemudahan menulis yang ditawarkan AI sering kali disalahartikan sebagai kemudahan berpikir. Padahal, menulis ilmiah sejatinya bukan hanya soal merangkai kalimat, tetapi soal pertanggungjawaban epistemik. Artikel ilmiah bukan sekadar teks yang tampak benar melainkan klaim pengetahuan yang harus dapat diuji, diverifikasi, dan dipertanggungjawabkan secara publik.
Ketika AI digunakan tanpa kesadaran kritis, tulisan ilmiah berisiko berubah menjadi simulasi akademik, terlihat ilmiah di permukaan tetapi rapuh secara substansi. Masalah paling serius dari penggunaan generative AI dalam penulisan ilmiah adalah fenomena halusinasi. AI dapat mengarang data yang tidak pernah ada, menyebutkan teori dengan atribusi keliru, atau menciptakan referensi fiktif lengkap dengan judul, nama penulis, bahkan DOI yang tampak sah. Bagi penulis yang tidak melakukan verifikasi, kesalahan ini dapat lolos begitu saja ke dalam artikel yang kemudian dipublikasikan. Pada titik ini, kesalahan bukan lagi bersifat teknis tetapi berubah menjadi pelanggaran etik.
Kebenaran isi dalam artikel ilmiah harus dipertanggungjawabkan melalui data dan sitasi yang valid. Data bukan sekadar angka atau temuan yang “masuk akal” melainkan hasil dari proses metodologis yang dapat dijelaskan dan ditelusuri. Sitasi bukan sekadar ornamen akademik tetapi jejak intelektual yang menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain. Ketika AI menyajikan data atau teori, penulis wajib memastikan bahwa data tersebut benar-benar ada, berasal dari sumber yang sah dan digunakan dalam konteks yang tepat.
Demikian pula dengan referensi. Daftar pustaka bukan formalitas administratif untuk memenuhi template jurnal melainkan fondasi legitimasi ilmiah. Verifikasi referensi melalui basis data seperti Google Scholar, Scopus, Crossref atau melalui pengecekan URL dan DOI bukan tugas opsional melainkan kewajiban moral penulis.
Mengutip artikel yang tidak pernah ada sama artinya dengan membangun argumen di atas pasir. Sayangnya, banyak penulis yang terlalu percaya pada keluaran AI, seolah-olah mesin memiliki otoritas epistemik yang setara dengan komunitas ilmiah. Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa editor dan reviewer bukanlah “polisi sitasi”. Tugas utama mereka adalah menilai koherensi argumen, ketepatan teori, relevansi data, dan kontribusi ilmiah sebuah artikel. Mereka tidak memiliki waktu, sumber daya, maupun mandat untuk memverifikasi satu per satu referensi yang dicantumkan penulis. Sistem peer review dibangun atas dasar kepercayaan akademik, kepercayaan bahwa penulis telah melakukan pekerjaan intelektualnya secara jujur dan bertanggung jawab.
Ketika kepercayaan ini dilanggar maka konsekuensinya tidak berhenti pada satu artikel. Artikel yang mengandung halusinasi data dan referensi fiktif berpotensi disitasi oleh penulis lain, baik dari generasi yang sama maupun generasi berikutnya. Kesalahan kemudian direplikasi, diperluas, dan dilembagakan dalam wacana ilmiah. Inilah yang dapat disebut sebagai “dosa akademik” yaitu kesalahan epistemik yang diwariskan bukan karena ketidaktahuan semata tetapi karena kelalaian dan ketidakjujuran intelektual.
Dosa akademik ini bersifat struktural dan jangka panjang. Ia mencemari ekosistem pengetahuan, merusak kepercayaan publik terhadap akademisi dan menurunkan kredibilitas institusi ilmiah. Lebih jauh, ia mencederai etos keilmuan yang seharusnya menjunjung tinggi kejujuran, kehati-hatian dan tanggung jawab. Dalam tradisi akademik, kesalahan metodologis masih dapat diperdebatkan, teori dapat dikritik dan temuan dapat direvisi. Namun, referensi fiktif dan data palsu tidak memiliki ruang legitimasi apa pun.
Penggunaan generative AI dalam penulisan ilmiah harus ditempatkan sebagai alat bantu bukan pengganti nalar kritis. AI dapat membantu menyusun kerangka, memperbaiki bahasa atau merangkum literatur tetapi tidak pernah boleh menggantikan proses verifikasi ilmiah. Setiap klaim yang dihasilkan AI harus diperlakukan sebagai hipotesis awal yang menuntut pembuktian bukan sebagai kebenaran final yang siap dipublikasikan.
Dosen memiliki tanggung jawab ganda dalam konteks ini. Selain sebagai penulis, dosen juga berperan sebagai pendidik etika akademik. Mahasiswa perlu diajarkan bahwa integritas ilmiah lebih penting daripada produktivitas semu. Publikasi cepat tanpa verifikasi bukan prestasi melainkan potensi bencana epistemik. Aktivis dan penulis non-akademik pun perlu menyadari bahwa membawa isu sosial ke ranah ilmiah menuntut standar pertanggungjawaban yang sama ketatnya.
Akhirnya, era generative AI menuntut redefinisi kedewasaan akademik. Kedewasaan itu tidak diukur dari kemampuan menggunakan teknologi canggih tetapi dari kesanggupan memikul tanggung jawab etik atas pengetahuan yang diproduksi. Teknologi boleh berkembang tetapi prinsip kejujuran ilmiah tidak boleh dinegosiasikan. Setiap artikel yang dipublikasikan adalah pernyataan moral penulis kepada komunitas ilmiah dan masyarakat luas bahwa apa yang ditulisnya dapat dipertanggungjawabkan mulai hari ini dan di masa depan. Jika prinsip ini diabaikan maka generative AI bukan akan memperkaya dunia akademik melainkan mempercepat degradasinya. Pada saat itu, dosa akademik tidak lagi menjadi kesalahan individu semata tetapi menjadi beban kolektif yang harus ditanggung oleh generasi ilmuwan berikutnya.

0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda