Penulis: Riem Malini Pane
Pendahuluan
Dinamika sosial kontemporer telah merekonstruksi konfigurasi peran dan identitas perempuan, khususnya dalam konteks peran istri di masyarakat Indonesia. Pada periode tradisional, perempuan umumnya terikat dalam ranah domestik sebagai pengasuh, pengelola rumah tangga, dan pendukung emosional bagi suami. Namun, arus modernisasi memunculkan perubahan paradigma sosial yang signifikan—menekankan kesetaraan gender, kemandirian ekonomi, serta kebebasan aktualisasi diri sebagai nilai universal yang menantang struktur patriarki tradisional. Dengan demikian, identitas istri modern terbentuk melalui dialektika antara pelestarian nilai kultural dan tuntutan rasionalitas modernitas.
Proses perubahan ini secara empiris berkorelasi dengan peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan dan ruang publik. Mosse (2007) dalam Gender and Development menegaskan bahwa pendidikan merupakan determinan utama dalam pembentukan kesadaran sosial-politik perempuan, terutama dalam konteks negosiasi posisi sosial dan otoritas domestik. Tingkat literasi yang lebih tinggi memungkinkan perempuan mengembangkan kesadaran kritis terhadap ketimpangan struktural serta mendorong terbentuknya kapasitas adaptif terhadap dinamika sosial modern.
Dalam perspektif teologis Islam, transformasi tersebut selaras dengan prinsip al-‘adl (keadilan) dan al-musawah (kesetaraan). Hal ini ditegaskan dalam QS. An-Nahl: 97, yang menyatakan bahwa “barang siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia beriman, maka Kami akan memberinya kehidupan yang baik.” Ayat ini mengafirmasi bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kualitas moral dan spiritualnya. Dengan demikian, partisipasi aktif perempuan dalam ruang publik merupakan manifestasi nilai keadilan yang bersumber dari prinsip tauhid sosial dalam Islam.
Pembahasan
Istri dalam Bingkai Tradisi
Dalam sistem sosial tradisional, konstruksi identitas istri berakar pada norma budaya dan religius yang menempatkan perempuan sebagai pengemban fungsi domestik. Istri diposisikan dalam relasi subordinatif terhadap suami, dengan loyalitas dan kepatuhan sebagai parameter moralitas utama. Model patriarki ini melahirkan hierarki gender yang rigid, di mana peran perempuan sering kali dipersempit menjadi simbol kesucian dan keharmonisan keluarga.
Connell dalam Gender and Power, menyebutkab bahwa sistem patriarki beroperasi melalui mekanisme hegemoni simbolik yang membatasi perempuan dari akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik. Namun demikian, tidak semua nilai tradisional bersifat represif. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, keikhlasan, dan solidaritas sosial tetap memiliki relevansi etis yang dapat diintegrasikan dalam konteks modern sepanjang direinterpretasikan secara kritis.
Secara teologis, Islam tidak menempatkan istri sebagai subordinat, melainkan sebagai mitra sejajar dalam struktur keluarga. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan prinsip egalitarianisme dalam relasi keluarga yang berlandaskan kasih sayang (rahmah) dan penghargaan timbal balik. Oleh karena itu, revitalisasi nilai-nilai tradisional yang berakar pada ajaran Islam dapat menjadi basis etis bagi pembentukan keluarga modern yang harmonis dan berkeadilan gender.
Modernitas dan Kelahiran Identitas Baru
Modernitas menghadirkan transformasi struktural melalui industrialisasi, globalisasi, dan revolusi pendidikan yang membuka peluang bagi perempuan untuk berperan lebih luas. Dalam konteks ini, perempuan mengalami redefinisi peran dari entitas domestik menjadi subjek sosial yang produktif dan reflektif. Identitas istri modern berkembang sebagai representasi agen sosial yang berusaha menyeimbangkan tanggung jawab keluarga dan partisipasi publik tanpa mengabaikan dimensi spiritualitas.
Menurut Anthony Giddens dalam Modernity and Self-Identity, individu modern memiliki sifat refleksif - mereka mampu merefleksikan pengalaman hidupnya untuk membentuk identitas diri secara otonom. Berdasarkan teori ini, perempuan modern tidak hanya mewarisi nilai-nilai kultural secara pasif, tetapi juga mengonstruksi makna baru melalui kesadaran diri dan kebutuhan sosial yang kontekstual.
Dalam perspektif Islam, peran perempuan dalam ranah publik merupakan bagian dari tanggung jawab kekhalifahan manusia di bumi. Figur Khadijah binti Khuwailid menjadi contoh historis perempuan Muslim yang mampu mengintegrasikan peran spiritual dan kemandirian ekonomi. Integrasi tersebut memperlihatkan bahwa Islam tidak hanya mengakui, tetapi juga mendorong perempuan untuk berkontribusi aktif dalam pembangunan sosial selama tetap berpegang pada prinsip moral dan etika sosial.
Ketegangan antara Tradisi dan Modernitas
Proses transisi dari tradisi ke modernitas melahirkan ketegangan sosial yang kompleks. Banyak perempuan menghadapi ambiguitas identitas akibat benturan antara idealitas kultural dan tuntutan kesetaraan modern. Di satu sisi, mereka diharapkan mempertahankan peran domestik dan moralitas tradisional; di sisi lain, mereka terdorong untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu yang mandiri dan produktif. Fenomena ini mencerminkan dilema eksistensial perempuan di masyarakat transisional.
Konsep cultural lag yang dikemukakan oleh Ogburn menggambarkan adanya keterlambatan adaptasi nilai-nilai sosial terhadap perubahan struktural yang cepat. Kondisi ini memicu resistensi terhadap perempuan yang memperjuangkan hak otonomi, karena dianggap menyalahi norma tradisional. Stigma sosial terhadap “istri modern” sering kali muncul akibat disonansi antara nilai budaya dan kenyataan sosial yang dinamis.
Islam menawarkan solusi konseptual melalui prinsip wasathiyah (moderasi), yang diuraikan dalam QS. Al-Baqarah: 143. Umat Islam diperintahkan untuk menjadi ummatan wasathan - komunitas yang mengambil posisi tengah antara ekstremitas. Uniktnya, ayat tentang “bersikap tengah” ini tepatnya di tengah-tengah ayat surah Al=Baqarah. Hemat saya, ini bukan sesuatu yang kebetulan namun ini jadi bukti konkret dari prinsip wasathiyah yang nyata. Di sisi lain, ayat tersebut juga dapat dijadikan sebagai prinsip paradigma etik dalam mengelola ketegangan antara tradisi dan modernitas, yakni dengan menyeimbangkan tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial dalam kehidupan perempuan kontemporer.
Istri sebagai Subjek Otonom
Dalam wacana kontemporer, perempuan modern menunjukkan kapasitas reflektif untuk menjadi subjek otonom. Proses ini dikenal sebagai subjectivation, yaitu pembentukan identitas melalui kesadaran diri dan kemampuan menegosiasikan makna sosial. Istri tidak lagi menjadi penerima nilai budaya semata, melainkan turut berpartisipasi dalam konstruksi makna baru tentang relasi gender dan keluarga.
Sebagaimana dijelaskan oleh Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, subjek sejati adalah individu yang mampu mendefinisikan eksistensinya tanpa dikendalikan oleh pandangan eksternal. Dalam konteks ini, istri modern yang berpendidikan dan berdaya ekonomi bukanlah simbol pemberontakan, melainkan wujud tanggung jawab moral atas potensi kemanusiaan yang dianugerahkan Tuhan.
Islam mengafirmasi prinsip kesalingan ini dalam QS. At-Taubah: 71, yang menyatakan bahwa “orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” Ayat ini menegaskan relasi kooperatif dan partisipatif antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, otonomi perempuan bukan antitesis dari nilai Islam, tetapi refleksi dari prinsip ta‘awun (saling menolong) dan musyawarah (partisipasi deliberatif) dalam keluarga dan masyarakat.
Kesimpulan
Identitas baru istri di era modern merupakan hasil dialektika antara kontinuitas tradisi dan tuntutan modernitas. Tradisi menyediakan kerangka etis dan moral yang menjaga kohesi sosial, sedangkan modernitas membuka ruang bagi aktualisasi nilai-nilai kesetaraan dan otonomi individu. Tantangan utama perempuan masa kini adalah bagaimana mengintegrasikan dua sistem nilai tersebut tanpa menimbulkan disorientasi identitas.
Dengan memadukan teori sosial modern dan prinsip keadilan Islam, perempuan dapat tampil sebagai aktor transformasi kultural yang berperan strategis dalam pembangunan sosial. Prinsip tawazun (keseimbangan) dan musyawarah menjadi fondasi etis bagi terciptanya relasi keluarga yang egaliter dan berkeadilan gender. Dengan demikian, istri modern tidak hanya berfungsi sebagai penjaga harmoni domestik, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang berkontribusi terhadap kemajuan bangsa secara berkelanjutan.
Daftar Rujukan
- Beauvoir, S. de. (1949). The Second Sex. Paris: Gallimard.
- Connell, R. W. (1987). Gender and Power: Society, the Person and Sexual Politics. Stanford University Press.
- Giddens, A. (1991). Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age. Polity Press.
- Mosse, J. C. (2007). Gender and Development. Routledge.
- Ogburn, W. F. (1922). Social Change with Respect to Culture and Original Nature. B. W. Huebsch.

0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda