![]() |
Drs. Irwan Saleh Dalimunthe, M.Ag |
Iftitah
Islam adalah seperangkat nilai untuk menjadi pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan menuju kehidupan yang baik dunia dan akhirat. Kata Islam berasal dari kata silm yang antara lain memiliki arti damai, penyerahan diri atau tunduk, begitu ulasan M. Quraish Shihab dalam bukunya (2021:95). Bila demikian halnya Islam adalah berserah, setia, cinta, tenang, damai dan bahagia. Untuk membuktikan hal ini haruslah dilihat kepada ajaran agama ini. Sebagaimna terdapat pada Risalah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagai pembawa Islam.
Dilihat dari inti ajaran Islam itu bahwa substansinya adalah penyerahan diri. Maknanya adalah manusia muncul adalah sebagai wujjud atau sosok yang akan mengabdi kepada Allah SWT. Watak dasarnya adalah adanya kesadaraan bahwa diri setiap manusia sebagai manipestasi dari wujud Allah SWT. Secara hakikatnya manusia itu adalah ketiadaan sebagai lawan dari wujud (Ada-Abadi). Manusia adalah angka nol ( 0 ) yakni ketiadaan hanya adanya setelah didampingi atau diisi oleh bilangan lain yang memiliki nilai yakni angka 1 hingga 9. Hakikinya manusia adalah tidak memiliki apapun kecuali dianugerahi Allah baik jiwa maupun raganya.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa wujud keberadaan manusia di hadapan Allah adalah dijelaskan pada (QS. Al-An’am ayat 162), artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku. Hidupku, dan matiku, kesemuanya demi Allah”. Lebih jauh diamati sesungguhnya pilar Islam itu ada 3 hal didasarkan pada hadits yakni, seperti digambarkan tentang kehadiran malaikat Jibril menemui Rasulullah, terdapat dalam Hadits riwayat Muslim no. 8 yakni penjelasan tentang Iman, Islam dan Ihsan. Sekali lagi bahwa hakikat ajaran Islam itu adalah ketiga pilar ini.
Bercemin dari itu maka dengan ber-Iman dan ber-Islam akan mengantarkan seorang muslim sampai pada kualitas Ihsan. Keberagamaan seseorang mesti dilihat dari ketiga tonggak ini tidak bisa hanya sampai pada Iman dan Islam saja. Bahkan dalam pandangan mistisisme atau orang yang berdiri pada spritualisme Islam, Ihsan itu adalah buah atau capaian dari keberimanan dan keberislaman. Sebagai puncak dari perjalanan hidup seorang muslim.
Ihsan Sebagai Puncak Beragama
Pertanyaannya adalah; Apakah Ihsan itu? Bila dilihat dari teks hadits ditemukan bahwa Ihsan adalah: “anta’budalloh kaannaka tarohu faillam takun tarohu fainnahu yaroka” artinya adalah “mengabdi pada Allah seolah-olah melihat Allah, tapi jikapun tak melihat-Nya Allah pasti melihatmu (manusia) (Riwayat Muslim).
Dalam perkembangannya Ihsan ini menjadi satu bidang disiplin pengetahuan yakni Tasawuf. Pengetahuan ini intinya adalah terwujudnya di dalam hidupnya ikhtiar penyucian diri dengan kesadaran bahwa selalunya manusia bersama Tuhan. Maknanya adalah bahwa kendati manusia hidup dengan dunia, akan tetapi tidak membuat terbangunnya jarak dengan Tuhan sebab dalam prinsip Ihsan sebagaimana dijelaskan Amin Abdullah (2021:266), bahwa; manusia secara individu, memang menyatu (wihdatu al-wujud) betul dengan Tuhan sejak awal kehidupannya. Yang pasti, yang tidak bisa dielakkan oleh manusia yang manapun di dunia adalah bahwasanya Ruh ditiupkan Allah SWT kepada manusia sebelum penglihatan, pendengaran dan hati nurani bekerja aktif (Surah as-Sajadah ayat 9).
Dalam Surah Az-Zumar ayat 42, ditegaskan oleh Allah bahwa: “Allah memegang nyawa seseorang pada saat kematiannya, nyawa yang belum mati ketika ia tidur…” Ayat ini bermakna bahwa Allah memegang kendali kehidupan setiap manusia. Allah selalu memandu, mengawasi, membimbing dan melihat apa saja yang dilakukan manusia itu.
Kesadaran seperti inilah yang dapat membangun munculnya jiwa-jiwa yang sangat berpotensi menjadi manusia Ihsan. Kondisi ini adalah perwujudan dari kesadaran spiritualitas yang amat berkualitas sebab setiap orang sudah merasakan hubungan sangat dekat dengan Allah SWT dan dengan itu pula bahwa setiap orang yang bekesadaan tinggi itu selalu menyikapi dan mencontoh sifat-sifat Ilahi sesuai yang tertera dalam Asmaul Husna dan dengan itu pula seseorang disebut dia sudah bisa hidup dengan akhlak karimah yakni perilaku yang mencerminkan nilai-nilai yang termuat dalam Asmaul Husna tadi.
Cinta pada Allah adalah Puncak Kebahagiaan
Setiap manusia dalam kehidupan ini selalu mendambakan tercapainya kebahagiaan. Hanya terkadang kebanyakan manusia tidak menemukan jalan menuju kebahagiaan itu. Bahkan mereka banyak keliru dalam memahami tentang kebahagiaan. Mereka mengira bahwa hidup bahagia itu cukup dengan terpenuhinya hajat hidup hingga melimpah ruahnya harta kekayaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa peranan harta atau materi dalam kehidupan sangat penting, hanya saja harta itu tidak menjadi pondasi dalam urusan mewujudkan kebahagiaan. Ia berposisi sebagai sarana atau alat untuk mencapai kebahagiaan. Sesungguhnya kebahagiaan tidak bertempat di luar diri manusia. Akan tetapi ia ada dalam hati nurani manusia itu. Bukan terletak di luar tetapi ada di bagian dalam diri manusia itu yakni dalam Hati.
Bila berbicara tentang hati maka harus benar-benar ada evaluasi ke dalam diri. Pertanyaannya adalah; apakah hati masih hidup atau sudah mati? Atau sedang sakit? Kalau sudah mati, maka menghidupkannya kembali amat sangat sulit apalagi sudah berada pada tingkat: “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka sudah tertutup, dan mereka mendapat azab yang berat” (QS. Al-Baqoroh ayat 7). Untuk membuka itu kembali bukan tidak mungkin sebab Allah selalu membuka pintu ampunan. Akan tetapi butuh keseriusan luar biasa, inilah gambaran Hati yang sudah mati itu.
Pasti berbeda dengan tingkatan hati yang sakit (QS. Al-Baqarah ayat 10) tentu lebih mudah jalannya. Intinya manusia itu perlu menempuh jalan. Maka dibutuhkan ada situasi hati yang terbuka dan berjalan untuk kembali kepada Allah. Sebab sebelumnya mereka menjauh karena hatinya terdinding oleh berbagai jenis kesalahan. Ada tiga pilar pokok yang harus dimiliki yakni: Petama: Menghidupkan Rasa, yakni merasakan betapa Tuhan sangat baik dan memberi fasilitas seluruh kebutuhan hidup baik menyangkut kebutuhan raga maupun jiwa. Memupuk rasa ini perlu usaha sebab tidak dapat dipungkiri bahwa Allah-lah segalanya, manusia hanya ikut dan berada dalam wilayah kekuasaan Allah. Yang ada hanya Allah secara hakiki sedang manusia dan seluruh makhluk-Nya sebagai perwujudan atau bayangan atau potret sebagai cerminan sehingga segalanya tetap dalam kendalinya dan secara otomatis mengikut pada-Nya.
Kedua, memupuk kesadaran diri, maksudnya adalah sangat perlu seseorang yang ingin memperbaiki diri untuk menghidupkan kesadaran jiwa bahwa Tuhan sangat luar biasa berjasanya kepada manusia sehingga mereka bisa eksis dan memiliki jati diri serta punya eksistensi dan sebagian terpilih sebagai penguasa sebab Allah mengizinkan atau menyerahkan (QS. Ali Imran ayat 26). Dengan kesadaran sebagai hasil perenungan dan memahami kedudukan Allah sang pemberi hidup sudah sewajarnya manusia sadar siapa sesungguhnya hakekat dirinya.
Ketiga, mengekalkan ingatan dan penyerahan diri pada sang pemilik kehidupan. Inilah posisi tertinggi yakni Pribadi Ihsan. Sosok yang selalu dekat dan taat pada Allah dan selalu menjadi sosok yang memancarkan prilaku teladan bahkan menjadi sumber atau mereka berkedudukan solutif bagi orang-orang di sekelilingnya. Seperti Kata Fahruddin Faiz (2021:295) bahwa orang berbuat baik tanpa pamrihlah yang akan bisa menikmati rasa kebahagiaan sebab dia melakukan sesuatu kebaikan hanya akibat rasa cintanya.
Bila ketiga ini dimiliki oleh seseorang maka potensi meraih hidup bahagia itu sudah di tangannya dan dalam ungkapan Allah SWT mereka ini bagian dari yang sudah jiwa yang amat tenang. Dijelaskan dalam QS. Ar-Ra’du ayat 28 bahwa mengingat Allah akan melahirkan ketenangan jiwa. Bahkan dalam QS. Al-Fajr ayat 27 – 30, Allah menyeru mereka untuk datang menemui Tuhan dengan berhati ridho penuh penyerahan dan dengan itu pula mereka sudah dalam ridho Allah dan diperintahkan Allah mereka masuk pada kebahagiaan dan kenikmatan syurgawi bersama kekasih-kekasih hamba pilihan Allah “selamat datang di syorga-Ku”.
Penutup
Sebagai seorang muslim dimanapun dia, bahwa kedekatan kepada Allah menjadi tolok ukur apakah dia berpotensi bahagia atau tidak. Kedekatan kepada Allah tidak dilihat dari jarak tempat sebab tidak berhubungan dengan tempat. Akan tetapi soal kedekatan hati. Hati seorang hamba dengan Rahman dan Rahimnya Allah. Ini urusan spiritual sebab kebahagiaan hanya bisa dinikmati dengan rasa cinta. Cinta bukan bilangan nominal atau tempat tapi soal rasa, kesadaran, kesetiaan, kehangatan, kesyukuran dan penerimaan. Maka prinsip dasar ber-Islam sesungguhnya berangkat dari rasa dimiliki, dicintai, mendapat andil pengayoman dan selalu dalam didikan dan arahan serta peluk kasih Allah SWT. Itulah pribadi pecinta Allah, yang setia dan taat pada Allah yang didasari oleh kesadaran yang muncul karena merasakan Cinta Allah.
Daftar Bacaan
Al-Quran dan Terjemah, Kementerian Agama RI.
Fahruddin Faiz, Menjadi Manusia Menjadi Hamba. Jakarta, PT. Mizan Publika, 2021
Muhammad Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin & Transdisiplin, Metode Studi Agama dan Islam di Era Kontemporer, Jogjakarta, PT Literasi Cahaya Bangsa, 2021
Muhammad Quraish Shihab, Islam Yang Saya Anut (Dasar-Dasar Ajaran Islam), Tangerang, Penerbit Lentera Hati, 2021
0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda