Tidak setiap saat apa yang kita inginkan dan cita-citakan selalu terwujud. Terkadang kita harus merasakan gagal meskipun telah berusaha. Bukan karena usaha kita kurang, namun kegagalan bisa jadi mengarahkan kita kepada kesuksesan yang lebih dari kita inginkan. Jadi, tidak baik melabeli diri dengan orang lain tidak berguna! Bisa jadi kegagalan mengajarkan untuk memperbaiki diri dan menemukan kelemahan diri. Kegagalan juga mengajarkan akan kekuatan dan betapa bermaknanya sebuah kesuksesan. Kesuksesan bisa dicapai ketika kita mau untuk bangkit dari kegagalan dan keterpurukan. Dalam psikologi istilah bangkit dari kegagalan ini biasa disebut dengan ‘resiliensi’.
Resiliensi adalah kemampuan diri untuk beradaptasi dan memiliki kekuatan dalam mengadapi hal-hal buruk yang terjadi di dalam hidup. Contohnya adalah perpisahan dengan pasangan, masalah keuangan, kehilangan pekerjaan atau menderita suatu penyakit. Oleh karena itu, resiliensi berperan penting melawan adanya gangguan yang menghampiri seorang individu. Kapasitas adaptasi individu atau komunitas dalam menghadapi kesengsaraan atau situasi yang sulit menjadi bekal penting untuk bertahan atau bangkit dari kondisi tersebut. Sikap ini terbentuk dan dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, lingkungan atau kondisi kesehatan fisik dan mental. Selain itu, resiliensi juga bisa dibangun dengan melakukan beberapa lagkah sederhana.
Orang yang memiliki resiliensi yang kuat umumnya mempunyai keterampilan yaitu: mengendalikan sikap dan perasaannya, memecahkan masalah, memandang suatu hal dengan positif, memiliki welas asih terhadap diri sendiri, memiliki rasa percaya diri yang baik, dan memiliki hubungan sosial yang baik. Kemampuan adaptasi ini juga akan membuat seseorang terhindar dari keadaan mati rasa secara emosional dan perilaku menyimpang. Bahkan penelitian membuktikan resiliensi membuat seseorang mampu mengelola stres dengan baik, sehingga resiko gangguan kecemaan dan depresi bisa menurun.
Menurut Reivich dan Shatte ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun atau menumbuhkan resiliensi diri, di antaranya ialah: Pertama, emotion regulation. Regulasi emosi merupakan upaya seseorang untuk selalu bersikap tenang di bawah kondisi tekanan. Emosi ini tidak saja hanya dapat berupa ekspresi yang negatif, namun dapat pula berupa emosi positif jika dilakukan dengan baik dan tepat.
Bentuk emosi yang dialami individu sangatlah beragam, dapat berupa marah, benci, dengki, cemburu, bahagia, cinta, sedih dan lain sebagainya. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an telah menjelaskan kondisi-kondisi emosi tersebut. Emosi marah berperan penting dalam diri individu. Ketika sedang marah kondisi fisik seseorang semakin meningkat. Al-Qur’an menganjurkan pengguna emosi keras/marah dalam melawan orang kafir yang berusaha menghambat dakwah agama Islam. Hal ini dicontohkan Nabi Musa as yang murka terhadap kaumnya yang menyembah patung sapi dari emas sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al- A’raf: 150.
Dan ketika Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati dia berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, “Wahai anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh- musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim (QS. Al-A’raf ayat 150).”
Kemudian Emosi cinta, berperan penting dalam membentuk harmonisasi sebuah hubungan baik dalam pasangan, keluarga, kelompok bahkan dalam lingkup kehidupan sosial yang luas. Cinta dalam konteks agama menjadi pengikat antara satu pemeluk dengan pemeluk yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang terjalin. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam surat QS. Ali Imran ayat 103:
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”
Menurut Imam Asy-Syaukani, Allah SWT memerintahkan mereka untuk bersatu padu dalam berpegang teguh pada agama Islam, atau dengan Al-Qur’an, dan melarang perpecahan di antara mereka yang timbul karena perbedaan mereka dalam perkara agama. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk selalu merenungi nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, serta menjelaskan kepada mereka, bahwasannya sebagian nikmat tersebut ada yang mendukung kondisi ini, yaitu bahwa mereka dulunya saling bermusuhan, saling bercerai berai, saling membunuh dan saling merampas, lalu karena sebab nikmat ini mereka menjadi saling bersaudara, dan dulunya mereka sudah berada di bibir lubang neraka akibat kekufurannya lalu Allah memberikan keselamatan mereka dari tepi neraka itu dengan Islam.
Kedua, impulse control, yaitu kapasitas seseorang dalam mengontrol keinginan/Hasrat diri yang timbul dari dirinya. Perubahan emosi secara drastis biasanya sering terjadi yang disebabkan rendahnya kemampuan seseorang memanage emosinya. Rendahnya impuls kontrol dapat memicu hilangnya kendali emosi yang berakibat perilaku tempramen, tidak sabar, agresif dan lain sebagainya. Tentu hal ini juga berpengaruh pada hubungan sosial dan persepsi negatif bagi orang sekitar.
Ketiga, optimisme adalah sikap positif yang dipandangnya dari segala hal termasuk juga tentang kondisi masa depannya. Individu optimis cenderung memiliki kesehatan mental, fisik dan psikologi yang stabil jika dibandingkan dengan individu yang mudah putus asa (pesimis). Sikap optimis juga berpengaruh besar dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Keempat, causal analysis merupakan kemampuan individu dalam menganalisis segala penyebab yang menimbulkan sebuah permasalahan atau tekanan dalam hidupnya. Setiap individu hendaknya dapat memprediksi sebab akibat dari setiap permasalahan dan tantangan yang dapat, agar ia tidak jatuh dalam kesalahan yang berulang atau sama.
Kelima, empati adalah kemampuan seseorang dalam menganalisa tanda dan kondisi emosional dan psikologis orang lain. Empati menjadi indikasi individu dalam kapasitas membaca situasi dan kondisi psikologis seseorang. Dengan sikap empati seseorang dapat mengerti dan memperhatikan bahkan dapat membantu permasalahan psikologis yang sedang dihadapi orang lain.
Keenam, self efficacy merupakan buah dari pengentasan masalah atau tekanan yang berhasil dilewati dengan baik. Efikasi diri dapat diartikan juga sebagai kapasitas keyakinan seseorang terhadap dirinya untuk selalu sukses dan berhasil dalam memecahkan persoalan yang silih berganti. Kemampuan seseorang dalam efikasi yang tinggi akan mengantarkan dirinya dalam kemudahan menghadapi problematika.
Ketujuh, reaching out adalah kemampuan individu dalam mengambil pelajaran positif dari setiap permasalahan atau tekanan hidup yang telah dilaluinya. Subjek pada klasifikasi rendah cenderung tidak menyadari hal yang harus ia lakukan dalam merealisasikan tujuannya. Begitu pun sebaliknya, subjek pada klasifikasi tinggi selalu mengerti langkah yang ia ambil untuk mewujudkan tujuan dan impiannya.
0 Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda