Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Transformasi Hukum Adat di Era Kontemporer: Antara Tradisi dan Modernitas di Kota Padangsidimpuan


 
Puji Kurniawan
Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

 

Di Kota Padangsidimpuan, hukum adat tumbuh dan berkembang sebagai seperangkat norma yang hidup serta terus dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat berfungsi menjaga ketertiban sosial dan hukum, sekaligus menjadi pedoman dalam mengatur hubungan antarmasyarakat. Keberadaannya diyakini mampu mencegah berbagai ancaman terhadap keteraturan hidup bersama, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, yang terlihat maupun tidak terlihat, dan telah diyakini sejak usia dini hingga akhir kehidupan. Hal ini menegaskan bahwa hukum adat melekat erat dalam struktur sosial masyarakat Padangsidimpuan. Prinsip tersebut sejalan dengan adagium “Ubi societas, ibi ius”, yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat, di situ terdapat hukum.

Secara konseptual, hukum adat lahir dan berkembang dari kebutuhan hidup nyata, pola kehidupan, serta kebudayaan masyarakat setempat. Oleh karena itu, suatu ketentuan hukum yang bersifat asing tidak dapat diterapkan secara efektif apabila bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks Kota Padangsidimpuan, yang mayoritas penduduknya berasal dari subetnis Batak Angkola dan Mandailing, hukum adat masih memiliki peran signifikan dalam mengatur kehidupan sosial dan kekeluargaan, meskipun masyarakatnya kini hidup dalam lingkungan perkotaan yang terus mengalami modernisasi.

Budaya masyarakat Batak yang meliputi Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, dan Angkola sangat dipengaruhi oleh sistem hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Hukum adat Batak tidak hanya mengatur relasi sosial antarindividu, tetapi juga mencakup kehidupan keluarga, perkawinan, kematian, serta hak dan kewajiban anggota masyarakat. Salah satu prinsip fundamental dalam hukum adat Batak adalah dalihan na tolu, yang menjadi dasar utama struktur sosial dan tata hubungan kemasyarakatan. Dalihan na tolu membagi hubungan sosial ke dalam tiga unsur, yakni dongan tubu (keluarga sedarah), dongan sahuta (kelompok masyarakat atau keluarga luas), dan dongan sabutuha (pihak yang dituakan dan dihormati). Ketiga unsur tersebut memiliki kedudukan yang saling melengkapi dan menekankan prinsip saling menghormati.

Dalam praktik sosial masyarakat Padangsidimpuan, sistem ini masih digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan adat, penyelesaian konflik keluarga, serta pelaksanaan berbagai upacara adat. Dalam hukum adat Batak, adat menempati posisi penting dalam setiap fase kehidupan, terutama dalam perkawinan, kelahiran, dan kematian. Perkawinan adat Batak diatur melalui tahapan yang sistematis, mulai dari panggap (lamaran), mangale (musyawarah keluarga besar), hingga pelaksanaan upacara adat pernikahan. Proses ini melibatkan tidak hanya pasangan yang menikah, tetapi juga keluarga besar dari kedua belah pihak, yang memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keharmonisan dan kesejahteraan rumah tangga. Pemberian hata parhata menjadi simbol penghormatan, kesepakatan, dan legitimasi adat dalam perkawinan tersebut.

Seiring perkembangan zaman, hukum adat Batak di Kota Padangsidimpuan mengalami transformasi yang dipengaruhi oleh pendidikan modern, urbanisasi, serta keberlakuan hukum nasional. Dalam praktiknya, beberapa ketentuan adat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer, seperti penyederhanaan prosesi adat dan fleksibilitas dalam pelaksanaan upacara. Namun demikian, nilai-nilai utama seperti keharmonisan sosial, keadilan, musyawarah, dan penghormatan terhadap leluhur tetap dipertahankan. Kondisi ini menunjukkan bahwa hukum adat Batak bersifat dinamis dan adaptif terhadap perubahan sosial.

Selain itu, berbagai tradisi Batak masih dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Padangsidimpuan, antara lain pernikahan adat Batak, pesta adat dan gondang, upacara kematian, serta penerapan prinsip dalihan na tolu dalam kehidupan sosial. Tradisi lainnya mencakup pesta adat seperti mardi atau merti desa sebagai ungkapan rasa syukur, pelestarian marga dan garis keturunan, ritual spiritual seperti mangalung, serta penggunaan tenun ulos dalam berbagai upacara adat. Keseluruhan tradisi tersebut mencerminkan identitas budaya masyarakat Batak yang tetap bertahan dan bertransformasi di tengah arus modernitas.

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah