Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Kritik Qur’ani Terhadap Kebebasan Berpendapat Dalam Pencegahan Dekadensi Moral Dan Distori Informasi

foto ilustrasi

 
Nabila Istania
Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

 

Kebebasan berpendapat seringkali dimaknai sebagai simbol demokrasi dan kodrat manusia. Sejatinya esensi berpendapat adalah menyampaikan pandangan jujur, kritis, bertanggung jawab, tentunya untuk membangun kebaikan bersama. Namun di era digital sekarang, kebebasan berpendapat sering disalahgunakan ruang publik, diwarnai dengan adanya hoaks, kebencian, dan konten provokatif yang memprovokasi masyarakat, seperti aksi protes di beberapa kota karena gejolak politik atau sosial, isu SARA, dan konten provokatif yang memanipulasi massa. Kebebasan berpendapat yang seharusnya memajukan masyarakat, kini berpotensi menjerumuskan ke kekacauan sosial.

Dalam menghadapi situasi seperti ini, diperlukan dasar normatif yang berfungsi sebagai batas etis bagi kebebasan berbicara. Sehingga kebebasan berpendapat tidak berarti menyesatkan, Al- Qur'an memberikan standar etika komunikasi yang jelas dan baik, seperti dalam Q.S Al- Hujurat:6

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Terdapat kata Tabayyun yang menegaskan untuk memeriksa kebenaran sebelum disebarkan. Dalam Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab menjelaskan ini bukan hanya larangan tekhnis, tetapi prinsip moral untuk mencegah kerusakan sosial. Selain itu, dalam Q.S An-Nur:15

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.”

Ayat ini mengecam keras penyebar kabar bohong tanpa ilmu, relevan dengan kasus kericuhan akibat provokasi dan distori informasi. Penyebaran isu SARA atau informasi palsu tentang kebijakan pemerintah sering memicu bentrokan, perusakan, dan perpecahan masyarakat. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kebebasan berpendapat tanpa tanggung jawab dapat menjadi alat perusak tatanan sosial yang mengakibatkan dekadensi moral.

Esensi berpendapat menurut perspektif Al-Qur’an mengajarkan bahwa perkataan harus jelas, bermanfaat, dan benar (qaulan baligha, qaulan ma’rufa, qaulan sadida). Literasi digital berfungsi sebagai jaminan agar masyarakat umum dapat memahami informasi sebelum disajikan, sehingga mencegah konflik. Ironisnya, laporan Indeks Kesopanan Digital Microsoft 2023 menyoroti Indonesia rendah dalam kesopanan digital, menandakan maraknya perilaku yang menyalahi nilai agama dan merusak moral.

Dalam jangka panjang praktik berpendapat yang keliru memiliki konsekuensi serius terutama dalam negeri, seperti kehilangan kepercayaan publik, konflik horizontal, dan kerusakan moral bagi generasi muda. Distori informasi yang memicu kericuhan tidak hanya sekedar kesalahan tekhnis melainkan krisis sosial dan moral. Oleh karena itu penguatan etika Qur’an dan pendidikan kritik terhadap informasi sangat penting. Literasi digital berdasarkan prinsip tabayyun, perkataan benar dan amar ma’ruf nahi munkar akan menjadikan kebebasan berpendapat sebagai sarana untuk membangun peradaban yang lebih baik.

Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah