Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

.

Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Realita atau Ilusi?

FOTO ILUSTRASI: Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan. Sumber: Internet. 

Adenin Aulia Siregar
 
Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum
UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

 

Idealnya, konsep checks and balances fondasi penting dalam menjaga sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab,  ia mempunyai fungsi sebagai mekanisme pengawasan dan pengimbangan antar lembaga negara agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan yang berlebihan. Di Indonesia, sistem ini secara formal telah diadopsi sejak era reformasi melalui perubahan UUD 1945. Namun, pertanyaannya yakni apakah checks and balances ini benar-benar berjalan dalam praktik atau justru hanya menjadi ilusi konstitusional? Realitas politik yang berkembang justru menunjukkan adanya kecenderungan sentralisasi kekuasaan pada lembaga eksekutif, lemahnya daya tawar legislatif, serta potensi intervensi politik terhadap lembaga yudikatif, yang secara kolektif mereduksi makna sejati dari prinsip pengawasan kekuasaan itu sendiri.

Secara normatif, konstitusi Indonesia mengatur pembagian kekuasaan antar lembaga negara secara jelas yaitu eksekutif dijalankan oleh presiden, legislatif oleh DPR dan DPD, serta yudikatif oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan lainnya. Bahkan, kehadiran Komisi Yudisial menambah satu lapis pengawasan terhadap perilaku hakim. Namun, tidak sedikit kasus yang menunjukkan betapa lemahnya fungsi kontrol antarlembaga ini. Desain kelembagaan yang tampak ideal di atas kertas sering kali tidak tercermin dalam praktik politik yang terjadi di lapangan.

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah hubungan antara DPR dan Presiden. Meskipun DPR memiliki fungsi pengawasan, kenyataannya banyak kebijakan eksekutif lolos tanpa kritik tajam, terutama ketika mayoritas partai politik pendukung pemerintah mendominasi di parlemen. Alih-alih menjadi penyeimbang, DPR justru seringkali terkesan menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Di sisi lain, keputusan penting yang seharusnya lahir dari debat kritis sering kali ditentukan melalui lobi-lobi politik tertutup. Hal ini memperlihatkan betapa fungsi pengawasan legislatif telah dikompromikan oleh kepentingan politik jangka pendek, bukan jangka panjang.

Di aspek yudikatif, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi semestinya menjadi benteng terakhir dalam menjaga prinsip checks and balances. Namun dalam beberapa tahun terakhir, independensi MK dipertanyakan, terutama setelah munculnya putusan-putusan kontroversial yang dianggap sarat muatan politik. Putusan soal syarat usia capres dan keterlibatan langsung hakim konstitusi dalam dinamika politik memperkeruh kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Ketika penjaga konstitusi mulai diragukan integritasnya, maka semangat pengawasan kekuasaan pun mengalami krisis legitimasi.

Selain itu, hal serupa juga terjadi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah, yang menjadi perdebatan hangat dalam hukum tata negara. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kewenangan besar dalam hal ini, sementara kontrol dari lembaga lain sangat terbatas. Ini menunjukkan adanya celah dalam sistem checks and balances yang memungkinkan kekuasaan terkonsentrasi pada satu pihak tanpa pengawasan yang memadai. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam proses ini memperkuat kekhawatiran publik terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Sementara itu, peran DPD sebagai perwakilan daerah diharapkan menjadi penyeimbang dalam legislatif. Namun, posisi DPD yang lemah secara konstitusional membuatnya sulit memainkan peran signifikan. Wacana penguatan DPD sudah lama bergulir, tetapi tidak pernah mendapat perhatian serius, terutama karena resistensi dari DPR itu sendiri. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa relasi kekuasaan antar lembaga tidak berada dalam posisi yang setara, padahal itulah inti dari prinsip checks and balances.

Dari berbagai fakta tersebut, kita patut merenungkan. Apakah checks and balances di Indonesia benar-benar berjalan, ataukah hanya sekadar formalitas dalam teks konstitusi? Dalam praktiknya, dominasi kekuasaan, oligarki politik, dan lemahnya pengawasan antar lembaga menunjukkan bahwa sistem ini masih jauh dari ideal. Jika tidak ada perbaikan serius dalam mekanisme pengawasan kekuasaan, maka prinsip checks and balances akan tetap menjadi ilusi dalam panggung demokrasi konstitusional Indonesia. Sudah saatnya publik menuntut transparansi, akuntabilitas, dan reformasi kelembagaan agar prinsip ini tak sekadar menjadi jargon konstitusional belaka.


Posting Komentar

0 Komentar

HEADLINE ARTIKEL

Cara Mengirimkan Artikel Publikasi di Majalah Pendidikan dan Dakwah